Yogyakarta (1)

Yogyakarta (1)

Seni, Budaya dan adat istiadat masih saja kental dengan kota Jogja.Hal ini terbukti dengan tatanan Keraton Jogjakarta yang masih terlihat megah mulai dari pelataran luar hingga artistik bangunannya.
Bahkan Bangsal Pagelaran yang men­jadi ruang tunggu tamu sebelum memasuki keraton dijadikan sebagai ikon kebanggaan masyarakat setempat. Selain budaya yang begitu kental, Jogjakarta yang biasa di­singkat Jogja ini memiliki segudang maka­nan khas yang patut dicicipi. Oleh kare­nanya, KOKI sengaja mengajak Anda untuk berlibur di kota ini sambil mencicipi makanan khas Jogja.

 

 


Gudeg
Selain keraton, Jogja juga dikenal sebagai kota 'Gudeg'. Tidaklah mengherankan karena setelah kami mengunjungi Keraton Jogja, seorang abang pengendara becak menawarkan kami untuk berkunjung ke pusat gudeg di jalan Wjilan.
Langsung saja kami meluncur ke arah kid alun-alun utara, lalu belok kanan dan masuk ke dalam gapura benteng. Begitu tampak jalan Wijilan, jajaran wa­rung penjual gudeg berjajar rapi di se­panjang jalan Wijilan itu.
Uniknya, hampir semua penjual menggunakan label dengan awalan Yuk/ Yu yang dalam bahasa Jawa berarti mbak atau kakak perempuan. Salah satu penjual yang memiliki banyak pelanggan yang kami temui adalah Yu Djum.
Di kedai Yu Djum, kami harus antri menunggu giliran untuk mencicipi gudeg andalannya. Tak lama sepiring gudeg ada di hadapan kami, sesendok nasi gudeg langsung menghampiri mulut kami. ".citarasa khas makanan Jogja langsung terasakan, rasa manis yang lebih dorm n membuat sayur nangka muda ini manjadi khas.
Untuk mengimbangi rasa manis yang kuat, Yu Djum menyiramkan areh (saus santan gurih) di atas gudegnya. Gudeg Yu Djum semakin klop rasanya bila ditambahkan salah satu lauk pendampingnya seperti telur, ayam bacem, ayam suwir, hati atau ampela.
Penyajian gudeg Yu Djum dapat dipesan sesuai kebutuhan Anda. Untuk Anda yang ingin langsung menikmati gudeg dapat memesannya dalam piring saji dengan harga antara Rp 5.000 hingga Rp 15.000. Namun bila Anda ingin membelinya untuk oleh-oleh, tersedia dua bentuk kemasan. Kemasan besek (kotak dari anyaman bambu) dan kendil (wadah bulat dari tanah liat).
Untuk kemasan besek dipatok dengan harga antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000, sedang yang kendil dapat dipesan mulai harga Rp 75.000 hingga Rp 150.000. Semua harga tersebut disesuaikan dengan lauk pendampingnya.
Walau harganya terlihat relatif mahal, kelezatan gudeg Yu Djum tak perlu dira­gukan lagi. Gudeg yang sudah ada sejak tahun 1957 ini memiliki pelanggan yang cukup banyak dari berbagai kota.

 


 

Lotek dan Gado-gado
Setelah puas berkeliling di jalan Wijilan, kami juga ditawarkan untuk men­coba gado-gado dan lotek yang terkenal dengan cobek besarnya.
Letak kedai penjual gado-gado dan lotek ini tak jauh dari stasiun peninggalan Belanda, Lempuyangan. Dad arah stasi­un ke arah timur hingga menemui jalan Argolubang, di sana terlihat sebuah kedai kecil yang bertuliskan 'Lotek & Gado­gado'. sudah kondang, tepatnya di jalan Argolubang.
Begitu memasuki kedai tersebut, kami langsung menemui bapak Sugeng sebagai sang peracik sekaligus empunya kedai tersebut. Bapak tiga anak ini sudah menekuni usaha ini semenjak 27 tahun lalu. Ketenaran kedai ini sebenarnya terletak pada keunikan cobek tempat meracik bumbunya.
dalam Cobek batu berukuran besar (60x 80 cm) tersebut, pak Sugeng mampu meracik bumbu untuk 50 porsi sekaligus. Untuk mengetahui keunggulan rasa gado­gado dan lotek pak Sugeng, kami meme­san satu porsi per menunya.
Tanpa memerlukan waktu lama, pak Sugeng langsung meracik bumbu dengan asyiknya. Nggak capai Pak? 'Sudah biasa mas' Jawab pak Sugeng sambil tersenyum. Sesaat kemudian lotek yang terdiri dari ketupat, kol, bayam, ken-tang, tomat, touge, bakwan (gorengan sayur), dan kerupuk yang diguyur dengan bumbu kacang siap untuk disantap.
Setelah kami campur bumbu dan sayurnya secara merata, lidah kamipun turut bergoyang, ehm...aroma kacang yang nik­mat langsung menghampiri kami. Bumbu kacang lotek yang terbuat dad kacang go­reng, daun jeruk, bawang putih, gula merah, dan garam memang klop bila dicampur dengan campuran sayuran.
Kamipun tak ketinggalan untuk mencicipi gado-gadonya, gado-gado ini tampi­lannya tak begitu beda dengan lotek. Wa­lau terlihat sama namun dua panganan ini ternyata memiliki bahan dan bubu yang berbeda. Untuk sayurnya, gado-gado menggunakan selada sedangkan lotek menggunakan bayam. Sedang bumbunya, lotek menggunakan air sebagai cairan pelarut bumbu kacang dan gado-gado menggunakan santan. Satu lagi perbedaan yang terlihat pada bahan pendamping kerupuknya, selain kerupuk udang gado­gado juga di-sajikan dengan emping sedangkan lotek hanya kerupuk
udang saja.
Dua porsi sudah kami makan, rasanya perut sudah penuh, tetapi kenikmatan lotek dan gado-gado pak Su­geng ini tak mungkin terlupakan begitu saja. Hal ini rasanya tak berlebihan bila meli­hat banyaknya pembeli yang terus berdatangan di tempat ini, tak heran bila se­hari saja pak Sugeng mampu menjual 400 porsi untuk ke dua jenis menu tersebut.


Ronde
Untuk sarapannya kami menikmati gudeg Yu Djum, makan siangnya makan lotek dan gado-gado. Malamnya, kami masih mencari tempat yang nyaman dan punya jajanan yang patut dicicipi, di mana kira-kira?
Seorang rekan kami menyarankan untuk mengunjungi alun-alun Taman Sari. Di sana tiap harinya banyak dikunjungi orang, apalagi saat liburan begini. Di tengah alun-alun Taman Sari terdapat dua pohon beringin berukuran besar yang terletak terpisah dan diberi pagar di tiap pohonnya.
Nah, menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila kita mampu berjalan lur­us melewati celah ke dua buah pohon de­ngan mata tertutup. Apapun perrnintaan kita terkabulkan, dan ritual ini dikenal dengan sebutan masangin. Rasanya patut dicoba, sepertinya mudah namun setelah mencoba ungkapan tersebut bakal luntur.
Kami mencobanya dua hingga tiga kali baru berhasil. Ternyata pengalaman tersebut tidak hanya kami alami, mayoritas pengunjung juga mengalami hal yang sama, kecuali yang sudah terbiasa melewati tempat tersebut.
Setelah lelah mencoba ritual masangin, kami melihat banyak kedai juga gerobak dorong yang berjualan wedang ronde di sekeliling alun-alun Taman Sari. Hidangan panas ini mampu menghangatkan badan kami di malam hari.
Sambil bersenda gurau, kami menik­mati semangkuk ronde berisi bulatan tepung ketan, roti tawar, irisan kolang-kaling, dan kacang sangrai. Semua bahan tersebut diguyur dengan kuah panas berasa jahe manis. Untuk menikmati se­mangkuk wedang ronde ternyata kami hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 1.000, harga yang lebih murah dari­pada saat kami menyewa penutup muka seharga Rp 3.000.

bersambung

Saat ini belum ada rating dan review untuk resep ini.

Buat Review dan Rating Artikel Yogyakarta (1)

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan, kolom yang harus diisi ditandai *